Kebudayaan dan Kepribadian
Kebudayaan
Indonesia adalah satu kondisi manjemuk karena ia bermodalkan berbagai
kebudayaan lingkungan wilayah yang berkembang menurut tuntutan sejarahnya
sendiri-sendiri. Pengalaman serta kemampuan wilayah-wilayah itu memberikan
jawaban terhadap masing-masing tantangan itulah yang memberikan bentuk, shape,
dari kebudayaan itu. Juga proses sosialisasi yang kemudiandikembangkan dalam
kerangka masing-masing kultur itu memberi warna kepada kepribadian yang muncul
dari lingkungan wilayah budaya itu.
Aristoteles mengatakan bahwa manusia diciptakan
sebagai makhluk monodualisme.Artinya setiap manusia memiliki dua
naluri pokok yang bertentangan. Yang pertama adalah keinginan untuk berhubungan
denganKhaliknya(sebagai
makhluk individu), dan yang kedua adalah keinginan untuk berhubungan
dengan individu lain dalam konteks masyarakat(sebagai makhluk sosial). Begitu juga dengan kebudayaan dan
masyarakat adalah dua hal yang tidak dapat
dipisahkan dari kehidupan nyata yang selamanya merupakan dwi tunggal,yang mana
tidak ada masyarakat tanpa kebudayaan dan tidak ada kebudayaan tanpa
masyarakat.
Orang-orang yang jauh dari dialog nilai-nilai
budaya asing akan tidak paham lukisan Popo Iskandar dan sebangsanya. Tentu
saja. Dialog budaya di persada Indonesia akan terus juga berjalan
Beberapa wilayah kebudayaan seperti Jawa dan Sunda mendapatkan
kesempatan perkembangan – meskipun bukannya tanpa bayaran yang mahal – serta
berdialog dengan dunia Barat modern.
Pasa waktu kita sebagai kumpulan masyarakat lama akhirnya berpedapat
bahwa satu-satunya jalan untuk bisa mengatasi keterbelakangan kondisi kepulauan
ini ialah dengan membuat suatu kesatuan yang disebut “bangsa baru yang modern”,
maka sejak semula sesungguhnya kita juga menyadari kondisi kemajemukan serta
ketimpangan keadaan itu. Sejak semula seyogyanya kita sudah menyadari akan
perjalanan panjang , yang mesti kita tempuh, bila kita menuju kepada kepada
satu kebudayaan baru yang “homogen” yang disebut Indonesia itu.
Sejak semula
kita seyogyanya tahu, bahwa tekad yang radikal dengan menyatakan hadirnya satu
bahasa kesatuan di atas bahasa-bahasa regional, adalah baru jalan rintisan saja
menuju jalan panjang pembangunansolidaritas baru itu.
Maka tantangan kebudayaan kita yang paling serius dalam menggalang satu
konsep kebudayaan baru yang disebut Indonesia itu adalah kondisi majemuk kita
serta ketimpanganya. Dapatkah dari kemajemukan dan ketidakseombangan atau
ketimpangan kondisi itu dikembangkan suatu kultur baru yang homogen? Ataukah
justru justru kondisi yang tidak homegen, yang majemuk ini, justru dinamika
kita yang menguntungkan untuk membangun suatu solidaritas baru?
Tantangan kita yang berikut adalah konsekwensi dari kehendak kita untuk
membuka pintu budaya kita lebar-lebar. Tidak hanya bagi kebudayaan-kebudayaan
lingkungan yang lalu, akan tetapi juga bagi kebudayaan asing lewat berbagai
saluran ekonomi, pendidikan dan politik.
Tantangan ini berjalin sangat eratnya dengan
kondisi kemajemukan serta ketidakeseimbangan tersebut tadi. Sebab, dari kondisi
yang demikian juga akan ditentukan pula kualitas pengolahan dialog dengan
kebudayaan asing itu.
Ilmu sosial dan ilmu psikologi mengajarkan kepada kita bahwa kepribadian
tidak pernah berdiri sebagai suatu hal yang terpisah, yang terisolasikan.
Meskipun penelitian di bidang ”kepribadian” ini masih seluas hutan belukar yang
baru mengalami sedikit pembabatan, tapi agaknya satu kesepakatan temah dicapai
untuk mengatakan bahwa kepribadian itu erat sekali berhubungan dengan kultur.
Ralp Linton yang menggambarkan setia bayi sebagai “barbar yang harus
diadabkan” jelaslah harus melewati proses yang tidak hanya lewat pendidikan
orang tua saja. Tetapi juga lewat proses lain. Setidak-tidaknya pemanfaatan
orang tua untuk dilewati pengaruh lain. Inilah yang disebut sosialisasi. Yakni
proses penyesuaian terus-menerus dari sang “barbar kecil” itu kepada sistem
nilai dan budaya dari komunitasnya.
Maka “kepribadian bangsa” saya kira mestilah
juga dibayangkan sebagai sesuatu yang tak lepas dari kultur dari bangsa itu.
Mesti juga dibayangkan sebagai proses penyesuaian terus-menerus – sosialisasi
dalam kanvas besar – dengan sistem nilai dan budaya bangsa itu
Karya Popo Iskandar |
Lukisan Kamasan adalah salah satu lukisan Indonesia yang menggambarkan kepribadian Indonesia.
Tentu saja. Dengan catatan ia akan terus tergarap dari titik pangkal
nilai-nilai “masyarakat lama ke perubahan baru.
Lukisan Popo Iskandar adalah lukisan Indonesia dengan kepribadian
Indonesia. Tentu saja.
Dengan catatan ia akan terus digarap dari titik pangkal dialog gencar dengan
nilai-nilai budaya asing. Orang-orang Batak, Minang dan suku-suku
« non-wayang » lainnhya akan tidak paham lukisan Kamasan. Tentu saja.
Kebudayaan Barat
Unsur kebudayaan barat juga memberi
warna terhadap corak lain dari kebudayaan dan kepribadian bangsa Indonesia
adalah kebudayaan Barat. Masuknya budaya Barat ke Negara Republik Indonesia ketika
kaum kolonialis atau penjajah masuk ke Indonesia, terutama bangsa Belanda.
Penguasaan dan kekuasaan perusahaan dagang Belanda (VOC) dan berlanjut dengan
pemerintahan kolonialis Belanda, di kota-kota propinsi, kabupaten muncul
bangunan-bangunan dengan bergaya arsitektur Barat. Dalam waktu yang sama,
dikota-kota pusat pemarintahan, terutama di Jawa, Sulawesi Utara, dan
Maluku berkembang dua lapisan sosial.
- Lapisan sosial yang terdiri dari kaum buruh
- Lapisan sosial yang terdiri dari kaum pegawai
Dalam kedua lapisan inilah
pendidikan barat di sekolah-sekolah kemampuan atau kemahiran Bahasa Belanda
menjadi syarat utama untuk mencapai kenaikan kelas. Akhirnya masih harus
disebut sebagai pengaruh Kebudayaan Eropa yang masuk juga ke dalam Kebudayaan
Indonesia, ialah agama Katolik dan Agama Kristen Protestan. Agama-agama
tersebut biasanya disiarkan dengan sengaja oleh organisasi
penyiaran agama yang bersifat swasta. Penyiaran dilakukan di daerah-
daerah dengan penduduk yang belum pernah mengalami pengaruh agama Hindu,
Budha, atau Islam daerah itu misalnya Irian Jaya, Maluku Tengah dan Selatan,
Sulawesi Utara dan tengah, Nusa Tenggara Timur dan Pedalaman Kalimantan.
Sudah menjadi watak dan kepribadian timur pada umumnya, serta masyarakat Jawa
khususnya, bahwa menerima setiap kebudayaan yang datang dari
luar,kebudayaan yang dimilikinya tidaklah diabaikan. Tetapi
disesuaikanlah kebudayaan yang baru itu dengan kebudayaan lama.
Sehubungan dengan itu penjelasan UUD’45
memberikan rumusan tentang kebudayaan memberikan rumusan tentang
kebudayaaan bangsa Indonesia adalah: kebudayaan yang timbul sebagai buah
usaha budi rakyat Indonesia seluruhnya, termasuk kebudayaan lama dan asli yang
ada sebagai puncak kebudayaan di daerah-daerah di seluruh Indonesia. Dalam penjelasan
UUD’45 ditujukan ke arah mana kebudayaan itu diarahkan, yaitu menuju kearah
kemajuan budaya dan persatuan, dengan tidak menolak bahan baru kebudayaan asing
yang dapat mengembangkan kebudayaan bangsa sendiri serta mempertinggi derajat
kemanusiaan bangsa
Daftar Pustaka
1. http://id.wikipedia.org/wiki/Budaya_Barat
2. http://id.wikipedia.org/wiki/Pertumbuhan_penduduk
3. http://jurnaltoddoppuli.wordpress.com/2009/07/10/kebudayaan-indonesia-dan-kepribadian-bangsa/
4. http://www.scribd.com/doc/24851035/Makalah-Kebudayaan-Dan-Kepribadian
5. Seni, Tradisi,Masyarakat”, Penerbit Sinar Harapan, Jakarta, Seri Esni No. 3, Jakarta, 1981
4. http://www.scribd.com/doc/24851035/Makalah-Kebudayaan-Dan-Kepribadian
5. Seni, Tradisi,Masyarakat”, Penerbit Sinar Harapan, Jakarta, Seri Esni No. 3, Jakarta, 1981
Tidak ada komentar:
Posting Komentar